Senin, 21 Desember 2009

Pemanasan Global (Global Warming)


Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia" melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Penyebab pemanasan global

Efek rumah kaca


Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Akibat yang ditimbulkan beragam, namun salah satunya adalah terjadinya kekeringan dimana-mana sehingga dapat menganggu perekonomian suatu wilayah.

Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:

1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak

a. Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya

b. Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)

c. Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan

d. Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.7

e. Karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya

2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan

a. Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.

b. Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.

3. Emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen

a. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun.

b. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.


Dari uraian di atas, Anda bisa melihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tiap komponen sektor peternakan. Di Australia, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam kurun waktu 20 tahun, sektor peternakan Australia menyumbang 3 juta ton metana setiap tahun (setara dengan 216 juta ton CO2), sedangkan sektor pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang 180 juta ton CO2 per tahunnya.

Tahun lalu, penyelidik dari Departemen Sains Geofisika (Department of Geophysical Sciences) Universitas Chicago, Gidon Eshel dan Pamela Martin, juga menyingkap hubungan antara produksi makanan dan masalah lingkungan. Mereka mengukur jumlah gas rumah kaca yang disebabkan oleh daging merah, ikan, unggas, susu, dan telur, serta membandingkan jumlah tersebut dengan seorang yang berdiet vegan.

Mereka menemukan bahwa jika diet standar Amerika beralih ke diet tumbuh-tumbuhan, maka akan dapat mencegah satu setengah ton emisi gas rumah kaca ektra per orang per tahun. Kontrasnya, beralih dari sebuah sedan standar seperti Toyota Camry ke sebuah Toyota Prius hibrida menghemat kurang lebih satu ton emisi CO2.


Perubahan Iklim VS Pelestarian Hutan di indonesia



Gambar : Hutan di Indonesia

sumber : http://www.waspada.co.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=8163




Babak baru skenario global tentang antisipasi perubahan iklim dunia mulai digelar. Nusa Dua Bali sontak ramai oleh aktifis lingkungan hidup dan utusan anggota PBB dari 189 negara. Dalam pertemuan akbar yang dijadwalkan pada tanggal 3-14 Desember 2007 yang menjadi perbincangan adalah permasalahan iklim dunia yang kian memprihatinkan.

Gambar : Kebakaran Hutan akibat ulah manusia

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB yang bertajuk United Nation Framework Conventioan of Climate Change kali ini merupakan tindak lanjut dan upaya pembaharuan Protokol Kyoto. Diperkirakan iklim global akibat emisi gas buang akan semakin memburuk dan tidak akan terkendali pada tahun 2012. Dari itu, PBB telah mengagendakan UNFCCC yang merupakan hasil rekomendasi Protokol Kyoto sebelumnya. Bahasan utama dalam perhelatan itu adalah bagaimana cara mengatasi peningkatan emisi gas akibat penggunaan teknologi industri secara tidak terkendali. Agenda lanjutan UNFCCC ini juga sudah direncanakan akan di gelar tahun 2008 di Polandia dan tahun 2009 di Denmark.

Indonesia sebagai tuan rumah UNFCCC hendaknya dapat memanfaatkan momen ini sebagai ajang untuk merumuskan permasalahan lingkungan terutama hutan Indonesia yang semakin gundul. Iklim global yang memburuk akibat emisi gas buang limbah industri tidak akan semakin parah jika saja fungsi hutan (function of forest) dapat dipulihkan. Sayangnya, jangankan pelestarian hutan, negara-negara industri seperti Amerika, Australia dan Uni Eropa malah semakin memperburuk keadaan dengan tidak menyepakati Protokol Kyoto yang telah mengatur usaha pengurangan emisi efek rumah kaca. Pasalnya, walaupun India, China termasuk Indonesia dan beberapa negara lain menyepakati Protokol Kyoto dan menerapkannya, ini tidak akan berdampak hasil secara optimal. Karena Amerika sebagai emitan (penghasil emisi) terbesar tidak mau menyepakati Protokol Kyoto.

Walaupun Indonesia komitmen mengupayakan pelestarian hutan yang dapat mereduksi 20 persen emisi totalnya, jika Amerika tidak ikut mensukseskan Protokol Kyoto maka usaha penyelamatan dunia dari perubahan ilkim akan sia-sia. Belakangan Australia telah komitmen akan meratifikasi Protokol Kyoto. Menyusul lagi, Uni Eropa bertekad menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) hingga 25-40 persen di bawah tingkat emisi tahun 1999 pada 2020 nanti. Ini setidaknya menjadi kabar baik untuk kemajuan program PBB itu. Jika saja Amerika Serikat sebagai emitan dan polutan terbesar segera menyepakati Protokol Kyoto, maka kecemasan akan perubahan iklim global tahun 2020 sampai tahun 2050 dapat teratasi. Sekali lagi, Amerika adalah salah satu penentu suksesnya upaya antisipasi perubahan iklim global.

Menunggu Momen Penyadaran

Belakangan, di Amerika Serikat sendiri permasalahan perubahan iklim kian disoroti. Kalangan LSM yang hadir dalam UN-FCCC memperkirakan isu perubahan iklim akan sangat dominan di politik lokal Amerika Serikat terutama dalam pemilu presiden mendatang. Alden Meyer, direktur strategi dan kebijakan Union of Concerned Scientists (UCS), sekali waktu di sela sidang UNFCCC mengatakan, politik AS akan diwarnai persaingan kemampuan mengemukakan isu perubahan iklim.

Dalam kampanye Pemilu presiden AS nanti permasalahan perubahan iklim ini akan menjadi bagian isu strategis kampanye. Hemat penulis, fenomena ini akan menjadi pertanda baik bagi proses penyadaran dari pihak AS untuk secara kongkrit dapat mengejawentahkan harapan masyarakat dunia. Pasalnya, Bush yang incumbent Presiden AS akan berusaha memenuhi tuntutan masyarakatnya tentang antisipasi perubahan iklim. Tentunya, jika ini terjadi maka dapat dipastikan AS akan setuju dan mau menandatangani Protokol Kyoto. Maka agenda PBB tentang antisipasi perubahan iklim akan menuju keberhasilan. Semoga saja demikian. Sembari kita menunggu momen penyadaran AS, yang walaupun disinyalir sarat akan nilai politik lokal, Indonesia juga harus tetap komitmen terhadap perencanaan Prtokol Kyoto dan rekomendasi UNFCCC Bali nantinya.

Saatnya Indonesia Beraksi

Gambar : Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Harapan kita, masyarakat dunia harus meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim yang mengancam ini. Dan ketika nantinya semua negara dunia sudah secara sadar mau komitmen untuk mensukseskan agenda sadar lingkungan ini, maka Indonesia harus mulai sekarang sudah menggagas rancangan yang serius untuk isu perubahan iklim global. Di satu sisi, hutan yang sudah gundul tidak mudah untuk memperbaikinya. Tapi setidaknya ada komitmen yang kuat dari Indonesia untuk menanggulangi permasalahan yang ada, terutama masalah hutan. Sekali lagi, pemanasan global (global warming) tidak lagi menjadi permasalahan, ketika memang semua negara secara sadar mau komitmen. Menurut perkiraan dan data PBB, Amerika dan negara maju lainnya sudah harus menekan gas karbonnya hingga 70 persen pada tahun 2050.

Selama ini Indonesia yang terikat pinjaman luar negeri terkesan tidak berkutik permasalahan pelestarian hutan. Uni Eropa selalu saja memiliki ruang intervensi untuk permasalahan hutan Indonesia. Mari kita tunjukkan pada dunia luar bahwa kita serius dan peduli terhadap permasalahan lingkungan. Sudah saatnya Indonesia berani berdiri di atas kaki sendiri dengan menagih komitmen dunia luar untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan lingkungan yang berakibat pada perubahan iklim. Mulai dari yang kecil, mulai dari diri kita sendiri, dan mulai dari sekarang.

Tidak perlu menunggu AS sadar untuk menyelamatkan bumi. Mari kita yang mulai. Karena sekecil apapun usaha yang kita lakukan tentu akan berbuah hasil jika dikerjakan dengan serius dan komitmen. Tinggal lagi, pemerintah harus dapat secara benar mengelola sumber daya alam yang ada untuk kepentingan Indonesia dan dunia. Sudah saatnya Indonisia merancang pembangunan yang berorientasi kepada kepentingan lokal tanpa menegasikan kepentingan global. Jangan nantinya ketika pohon hutan terakhir sudah di tebang baru kita sadar, uang tak dapat dimakan dan menyelamatkan manusia. Walaupun belakangan Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan tidak sepakat terhadap 'jeda' penebangan hutan, setidaknya keputusan-keputusan yang diambil negara ini nantinya dapat dipikirkan dengan analisis yang logis.

Hemat penulis, Indonesia harus melakukan beberapa kebijakan lokal untuk pembangunan Indonesia demi kepentingan Indonesia dan dunia. Upaya-upaya yang setidaknya dapat dilakukan antara lain:

Melakukan pemetaan (maping) ulang terhadap potensi hutan Indonesia untuk kemudian diberdayakan secara optimal dan proporsional yang berbasiskan keseimbangan lingkungan. Merancang teknologi yang dapat mereduksi emisi yang berpotensi terhadap kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global. Merancang teknologi ramah lingkungan dengan cara pembangunan berbasis alam (natural based).Menegakkan hukum lingkungan secara tegas dengan menerapkan hukum berbasis lingkungan (law based on environment). Terakhir, semoga Indonesia dapat meningkatkan martabat bangsa melalui program penyelamatan dunia. Dan mudah-mudahan manfaat hutan tidak hanya dapat dinikmati oleh cukong saja. Karena anak-cucu kita nanti juga butuh udara yang segar dan sehat. Semoga.

Pengolahan Limbah Cair

Industri primer pengolahan hasil hutan merupakan salah satu penyumbang limbah cair yang berbahaya bagi lingkungan. Bagi industri-industri besar, seperti industri pulp dan kertas, teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkannya mungkin sudah memadai, namun tidak demikian bagi industri kecil atau sedang. Namun demikian, mengingat penting dan besarnya dampak yang ditimbulkan limbah cair bagi lingkungan, penting bagi sektor industri kehutanan untuk memahami dasar-dasar teknologi pengolahan limbah cair.

Teknologi pengolahan air limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan air limbah domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan.

Berbagai teknik pengolahan air buangan untuk menyisihkan bahan polutannya telah dicoba dan dikembangkan selama ini. Teknik-teknik pengolahan air buangan yang telah dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:

1. pengolahan secara fisika

2. pengolahan secara kimia

3. pengolahan secara biologi

Untuk suatu jenis air buangan tertentu, ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi.

Pengolahan Secara Fisika

Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.














Gambar 1.

Skema Diagram Pengolahan Fisik

Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).

Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.

Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.

Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.

Pengolahan Secara Kimia

Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi.










Gambar 2. Skema Diagram pengolahan Kimiawi

Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit. Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).

Koagulasi & Flokulasi


Penyisihan bahan-bahan organik beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon hidrogen peroksida.

Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena memerlukan bahan kimia.

Pengolahan secara biologi

Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan sekunder, pengolahan secara biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya.

Pada dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:

1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);

2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor).

Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses absorbsi di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.

Kolam oksidasi dan lagoon, baik yang diaerasi maupun yang tidak, juga termasuk dalam jenis reaktor pertumbuhan tersuspensi. Untuk iklim tropis seperti Indonesia, waktu detensi hidrolis selama 12-18 hari di dalam kolam oksidasi maupun dalam lagoon yang tidak diaerasi, cukup untuk mencapai kualitas efluen yang dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Di dalam lagoon yang diaerasi cukup dengan waktu detensi 3-5 hari saja.

Di dalam reaktor pertumbuhan lekat, mikroorganisme tumbuh di atas media pendukung dengan membentuk lapisan film untuk melekatkan dirinya. Berbagai modifikasi telah banyak dikembangkan selama ini, antara lain:

1. trickling filter

2. cakram biologi

3. filter terendam

4. reaktor fludisasi

Seluruh modifikasi ini dapat menghasilkan efisiensi penurunan BOD sekitar 80%-90%.

Ditinjau dari segi lingkungan dimana berlangsung proses penguraian secara biologi, proses ini dapat dibedakan menjadi dua jenis:

1. Proses aerob, yang berlangsung dengan hadirnya oksigen;

2. Proses anaerob, yang berlangsung tanpa adanya oksigen.

Apabila BOD air buangan tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis.
















Gambar 3. Skema Diagram pengolahan Biologi